Tuesday, May 24, 2011

Faktor-faktor yang memengaruhi perkembangan bahasa

Faktor-faktor yang memengaruhi perkembangan bahasa
Telah disebutkan bahwa berbahasa terkait erat dengan kondisi pergaulan. Oleh sebab itu, perkembangan bahasa seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut ini:
a. Faktor umur
Bahasa seseorang akan berkembang sejalan dengan pertambahan usia dan pengalamanya. Faktor fisik ikut memengaruhi kerena semakin sempurnanya pertumbuhan organ bicara, serta kerja otot-otot untuk melakukan gerakan-gerakan dan isyarat. Pada masa ramaja, perkembangan biologis yang menunjang kemampuan berbahasa telah mencapai tingkat kematangan, disertai oleh perkembangan intelektual maka remaja akan mampumenunjukan cara-cara bekomunikasi yang baik dan sopan.
b. Faktor kondisi lingkungan
Lingkungan tempat anak umbuh dan berkembang memberi andil yang cukup besar terhadap kemampuan berbahasa. Penggunaan bahasa dilingkungan perkotaan berbeda dengan lingkungan pedesaan. Demikian perkembangan bahasa d daerah pantai, penggunaan, dan daerah daerah terpencil tidaklah sama, sehinggahberkembangberbagaibangsa daerah.
c. Faktor kecerdasan
Untuk meniru bunyi suara, dan mengenal simbol-simbol bahasa diperlukan kemampuan motorik dan intelektual yang baik. Kemampuan motorik berkolerasi fositip dengan kemampuan intelektual. Ketepatan meniru, mengumpulkan perbendaharaan kata-kata menyusun kalimat yang baik, dan memahami maksud perkataan orang lain sangat dipengaruhi oleh kemampuan kerja motorik dan kecerdasan seseorang.
d. Status sosial ekonomi keluarga
Rangsangan yang disediakan untuk ditiru oleh anak-anak dari anggota keluarga yangszosial ekomomi tinggi berada dengan keluarga yang setatus sosial ekonominya rendah. Hal ini tampak dari perkembangan bahasa pada anak-anak yang hidup dari keluarga terdidik. Dengan kata lain, pendidikan dan setatus sosial ekonomi keluarga berpengaruh terhadap perkembangan bahasa anak.
e. Faktor kondisi fisik
Orang yang cacat dan terganggu kesehatannya, seperti bisu, tuli, gagap, atau organ suara tidak sempurna akan terhadap perkembangannya dalam bahasa. Orang yang tuli sejak lahir umumnya tidak mampu mengembangkan bahasanya.
4. Pengaruh Kemampuan Berbahasa Terhadap Kemampuan Berpikir
Tingkat kemampuan berpikir sangat berpengaruh terhadapkemampuan bahasa. Demikian pula sebaiknya, orang yang kemampuan berpikir rendah akan mengalami kesulitan dalam menyusun kata-kata atau kalimat yang baik, logis, dan sistematis. Hal ini tentu saja akan menyulitkan mereka dalam berkomunikasi.
5. Implikasi Pengembangan kemampuan Bahasa Remaja Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan.
Kelompok belajar berdiri dari siswa-siswi yang memiliki variasi bahasa yang berbeda-beda, baik kemampuan maupun polanya. Sehubungan dengan itu, dalam mengembangkan stratagi belajar mengbajar dibidangbahasa, guru perlu memfokus pada kemampuan dan keragaman bahasa anak. Anak diminta untuk melakukan pengulangan (menceritakan kembali) pelajarn yang telah diberikan dengan kata kata yang disusun sendiri. Dengan cara ini, guru dapt melakukan identifikasi tentang pola dan tingkat kemampuan bahasa mereka. Kalimat atau cerita anakten tang isi pelajaran perlu diperkaya dan diperluas oleh agar mereka mampu menyusun cerita yanglebih komprehensif tentang isi bacaan yang telah dipelajarinya dengan menggunakan pola bahasa mereka sendiri.
Perkembangan bahasa yang menggunakan model pengekspresian secara mandiri, baik lisan maupun tulisan, dengan mendasarkan pada bahan bacaan akan lebih mengembangkan kemampuan dan membentuk pola bahasa anak. Dalam penggunaan model ini, guru harus banyak memberikan rangsangan dan koreksi dalam bentuk diskusi atau komunikasi bebas, oleh karena itu, sarana pengembangan berbahasa, seperti buku bacaan, da, surat kabar, majalah dan lain lain hendaknya di sediakan di sekolah.
G. Perkembangan Emosi Peserta Didik Usia Sekolah Menengah (Remaja)
Kehidupan anak itu penuh dengan dorongan dan minat untuk mencapai atau memiliki sesuatu. Banyak-sedikitnya dorongan dan minat seseorang itu mendasari pengalaman emosionalnya. Apabila dorongan, keinginan atau minatnya dapat terpenuhi, anak cenderung memiliki perkembangan afeksi atau emosi yang sehat dan stabil. Dan demikian, ia dapat menikmati dan mengembangkan kehidupan sosialnya secara sehat pula. Selain itu, ia tidak terhambat oleh gejala gangguan emosi. Sebaliknya, jika dorongan dan keingiannya tidak dapat terpenuhi, disebabkan kurangnya kemampuan untuk memenuhinya ataupun karena kondisi lingkungan yang kurang menjuang, sngat dimungkinkan perkembangan emosionalnya itu akan mengalami gangguan.
1. Pengertian Emosi
Perilaku kita sehari-hari pada umumnya diwarnai oleh, perasaan-parasaan tertentu, seperti senang atau tidak senang, suka atau tidak suka, atau sedih dan gembira. Perasaan yang terlalu menyertai perbuatan-parbuatan kita sehei-hari disebut sebagai warna afektif.warna afektif kadang-kadang kuat, adang-kadang lemah, atau perasaan separti itu dinamakan emosi (sartilo, 1982:59). Beberapa contoh emosi yang lainnya adalah gembira, cinta, marah, takut, cemas, malu, kecewa, benci.
Emosi dan perasaan adalah dua konsep yang berbeda, tetapi perbedaan keduanya tidak dapat dinyatakan secara tegas. Emosidan perasaan merupakan gejala emosionalyang secara kualitatif berkelanjutn, tetapi tidak jelas batasnya. Pada suatu saat, warna afektik dapat dikatakan sebagai perasaan, tetapi dapat pula disebut sebagai emosi. Minsaslnya, marah yang ditunjukan bentuk diam.Oleh karena itu, emosi dan perasaan tidak mudah untuk dibedakan.

Pada saat emosi, sering terjadi perubahan-perubahanpada fisik seseorang, seperti:
a. Reaksi elektris pada kulit meningkat bila terpesona
b. Peredaran darah bertambah cepat bila marah
c. Denyut jantung bertambanh cepat terkejut
d. Bernapas panjang bila kecewa
e. Pupil mata membesar bila marah
f. Air liur mengering bila takut atau tegang
g. Bulu roma berdiri bila takut
h. Pencernaan menjadi sakit atau mencret-mencret kalau tegang
i. Otot menjadi tegang atau bergetar (tremor)
j. Komposisi darah berubah dan kelenjar-keenjar aktif

2. Karakteristik Perkembangan Emosi
Masa remaja dianggap sebagai periode badai dan tekanan, suatu masa saat ketegangan emosi meninggi sebagai akibat perubahan fisik dan kelenjar meningginya emosi disebabkan remaja berada di bawah tekanan sosial, dan selama masa kanak-kanak, ia kurang mempersiapkan diri untuk menghadapi keadaan itu. Tidak semua remaja mengalami masa badai dan tekanan. Sebagian dari mereka memang mengalami ketidakstabilan emosi sebagai dampak dari penyusaian diri terhadap pola perilaku baru dan harapan sosial baru.
a. Cinta/ kasih sayang
Ciri yang menonjol dalam kehidupan remaja adalah adanya perasaan untuk mencintai dan dicintai orang lain. Kapasitas untuk memberi sama pentingnya dengan kemampuan untuk menerima rasa cinta. Remaja tidak dapat hidup bahagia tanpa mendapatkan cinta kasih dari orang lain. Kebutuhan untuk memberi dan menerima cinta menjadi sangat penting penting walaupun kebutuhan-kebutuhan terhadap perasaan itu disembunyikan secara rapi.
b. Perasaan gembira
Orang umumnya dapat mengingat kembali pengalaman-pengalaman menyenangkan yang pernah dialami selama masa remaja. Rasa gembira muncul apabila segala sesuatunya berlangsung dengan baik dan menyenangkan.
c. Kemarahan dan permusuhan
Rasa marah dan permusuhan merupakan gejala emosional yang penting di antara emosi-emosi yang memainkan peranan nmenojol dalam perkembangan kepribadian remaja. Kita ketahui bahwa dicinta dan dicintai adalah gejala emosi yang sangat penting bagi perkembangan kepribadian yang sehat.
d. Ketakutan dan cemburuan
Masa remaja telah mengalami serangkaian perkembangan panjang yang memengaruhi pasang surut rasa ketakutannya. Beberapa rasa takut yang terdahulu memeng telah teratasi, tetapi banyak pula yang masih tetap ada, banyak ketakutan baru yang muncul karena adanya kecemasan-kecemasan sejalan dengan perkembangan remaja itu sendiri.
3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Perkembangan Emosi
Sejumlah penelitian tentang emosi menunjukan bahwa perkembangan emosi remaja sangat dipengaruhi oleh faktor kematangan dan faktor belajar (Hurlock, 1960:266). Kematangan dan belajar terjalin erat satu sama lain dalam memengaruhi perkembangan emosi. Perkembangan intelektual menghasilkan kemampuan berfikir kritis untuk memahami makna yang sebelumnya tidak dimengerti dan menimbulkan emosi terarah pada sato objek. Demikian pula kemampuan mengingat dan menghapal memengaruhi reaksi emosional, dengan demikian, remaja menjadi reaktif terhadap rangsangan yang tadinya tidak memengeruhi merekan pada usia yang lebih muda.
Kegiatan belajar turut menunjang perkembangan emosi remaja. Metode yang menujang perkembangan emosi antara lain sebagai berikut.
a. Belajar coba-coba
Anak belajar dengan coba-coba untuk mengekspresikan emosinya dalam bentuk perilaku yang memberikan pemuasan sedikit atau sama sekali tidak memberikan kepuasan. Cara belajar ini lebih umum digunakan pada masa remaja awal dibandingkan masa sesudahnya.
b. Belajar dengan cara meniru
Dengan cara meniru dan mengamati hal-hal yang membangkitkan emosi orang lain, remaja bereaksi dengan emosi dan metode ekspresi yang sama dengan orang yang diamati. Remaja yang suka ribut atau merasa populer di kalangan teman-temannya biasanya akan marah bila mendapat teguran gurunya.
c. Belajar dengan cara mempersamakan diri
Anak menirukan reaksi emosional orang lain yang tergugah oleh rangsangan yang sama dengan rangsangan yang telah membangkitkan emosi orang yang ditiru. Di sini anak hanya menirukan orang yang dikagumi dan mempunyai ikatan emosional yang kuat dengannya.
d. Belajar melalui pengodisian
Dengan metode ini objek, situasi yang mulainya gagal memancing reaksi emosional kemudian berhasil dengan cara asosiasi. Pengondisian terjadi dengan mudah dan cepat pada tahun-tahun awal kehidupan karena anak kecil kurang mampu menalar, mengenal betapa tidak resionalnya reaksi mereka. Setelah melewati masa kanak-kanak, pengunaan metode pengondisian semakin terbatas pada perkembangan rasa suka dan tidak suka.
e. Belajar di bawah bimbingan dan pengawasan
Anak diajarkan cara bereaksi yang dapat diterima jika suatu emosi terangsang. Dengan pelatihan, anak-anak dirangsang untuk bereaksi terhadap rangsangan yang biasanya membangkitkan emosi yang menyenangkan dan dicegah agar tidak bereaksi secara emosional terhadao rangsangan yang membangkitkan emosi yang tidak menyenangkan.
Mendekati berakhirnya usia remaja berarti telah melewati banyak badai emosional, sehingga ia mulai mengalami keadaan emosional yang lebih tenang yang mewarnai pasang surut kehidupannya. Ia juga telah belajar dalam seni memyembuyikan perasaan-perasaannya. Halini berarti jika ingin memahami remaja, kita tidak hanya mengamati emosi-emosi yang secara spontan dan terbuka ia tampakkan.
Remaja tahu bahwa ada bahasa untuk menunjukan kemarahan secara terbuka. Ia harus diajarkan untuk tidak hanya menyembuyikan kemarahan, tetapi juga perlu takut terhadap rasa marah dan merasa bersalah apabila marah. Remaja telah mengalami rasa cinta dan dicinta. Orang tua dan guru hendaklah menyadari perubahan ekspresi pada anak /siswanya karena tidak berarti emosi tidak lagi berperan dalam kehidupan mereka. Ia tetap membutuhkan perangsangan-perangsang yang memadai untuk pengembangan pengalaman-pengalaman emosionalnya. Responsnya berbeda-beda terhadap apa yang sebelumnya dianggap ancaman atau rintangan cita-citanya. Pada akhirnya, ia perlu mempunyai kemampuan untuk memyesuaikan sikap dan perilaku dengan apa yang sedang terjadi padanya. Bertambahnya umur, pengetahuan dan pengalaman berpengaruh signifikan terhadap perubahan irama emosional remaja.
4. Pengaruh Emosi Terhadap Tingkah laku
Perasaan takut atau marah dapat menyebabkan seseorang menjadi gemetar. Dalam ketakutan, mulut menjadi kering, jantung berdetak cepat, aliran darah/tekanan darah deras sehingga sistem pencernaan terganggu. Cairan pencernaan atau getah lambung terpengaruh oleh gangguan emosi yang menyenangkan dan releks berpungsi sebagai alat pembantu pencerna, sedangkan perasaan tidak enak atau tertekan menghambat atau mengganggupencernaan.
Diantara rangsangan yang dinikmatkan kegiatan kelenjar sekresi dari getah lambung adalah ketakutan-ketakutan yang akut atau kronis. Kegembiraan yang berlebihan, kecemasan, dan kekhawatiran menyebabkan menurunya kegiatan sistem pencernaan dan bisa juga menyebabkan sembelit. cara penyenbuhan yang efektif adalah menghilangkan penyebab ketegangan emosi.Radang pada lambung tidak dapat disembuhkan ,demikian pula didiare dan sembelit,jika faktor-faktor yang menyebabkan munculkan emosi tidak dihilangkan.
Gangguan emosi juga dapat menjadi penyebab kesulitan berbicara. ketegangan emosional yang cukup lama mungkin menyebabkan seseorang gagap. Seorang yang gagap sering dapat normal berbicara jika dalam keadaan relaks atau tenang. Namun, jika dia dihadapkan pada situasi-situasi yang menyebabkan kebingungan maka akan menunjukkan kegagapan.
Perilaku ketakutan,malu-malu atau agresif dapat disebabkan ketegangan emosi atau frustasi. Karena reaksi kita berbeda-beda terhadap orang. Seorang siswa bisa saja tidak senang kepada gurunya bukan karena pribadi guru, tetapi karena sesuatu yang terjadi pada situasi belajar di kelas. Jika ia merasa malu karena gagal dalam menjawab soal tes lisan, Akibatnya, ia mungkin menjadi takut ketika menghadapi tes tulisan. Akibatnya, ia memutuskan untuk membolos, atau melakukan kegiatan yang lebih buruk lagi, yaitu melarikan diri dari orangtua, guru, atau dari otoritas lain.
5. Mengenal Kecerdasan Emosi Remaja
Masa remaja dikenal dengan masa strorm and, yaitu terjadi pergolakan emosi yang diiringi dengan pertumbuhan fisik yang pesat dan pertumbuhan secara psikis yang bervariasi. Pada masa remaja (usia 12 sampai dengan 21tahun) terdapat berapa fase (Monks, 1985), yaitu fase remaja awal (usia 12 sampai 15 tahun), remaja petengahan (15 sampai 18 tahun), remaja akhir (usia 18 sampai 21 tahun). Di antaranya juga terdapat fase pubertas yang merupakan fase yang sangat singkat dan terkadang menjadi masalah tersendiri bagi remaja dalam menghadapinya. Fase pubertas ini berkisar 11 atau 12 tahun sampai dengan 16 tahun (Hurlock, 1992) dan setiap individu memiliki variasi tersendiri, pada fase itu, remaja mengalami perubahan dalam sistem kerja hormon dalam tubuhnya dan hal ini memberi dampak pada bentuk fisik (terutama ogan-organ seksual) dan psikis, terutama emosi. Masa pubertas berada tumpang tindih antara masa anak dan masa remaja, sehingga adanya kesulitan pada masa tersebut dapat enyebabkan remaja mengalami kesulitan menghadapi fase-fase perkembangan.
Adapun Cooper dan sawaf (1998) mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang manusiawi, kecerdasan emosi menuntut pemilikan perasaan, untuk belajar mengakui, menghargai perasaan pada diri dan orang lain serta menanggapinya dengan terpat, menerapkan secara efektif energi emosi dalam kehidupan sehari-hari.
a. Mengenali emosi diri
Kesadaran diri dalam mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi merupakan dasar kecerdasan emosional, pada tahap ini diperlukan adanya pemantauan perasaan dari waktu ke waktu agar timbul wawasan psikologis dan pemahaman tentang diri.
b. Mengelola emosi
Mengelola emosi berarti menangani perasaan agar terungkap dangan tepat. Hal ini merupakan kecakapan yang sangat bergantung pada kesadaran diri. Emosi dikatakan berhasil dikelola apabila mampu menghibur diri ketika ditimpa kesedihan.
Kemampuan seseorang memotivasi diri ditelesuri malalui hal-hal berikut: a) cara mengendalikan dorongan hati, b) derajat kecerdasan yang berpengaruh terhadap unjuk rasa seseorang, c) kekuatan berfikir positif, d) optimisme, dan e) keadaan flow (mengikuti keadaan)
c. Menghadapi emosi orang lain
Empati atau mengenal emosi seseorang di bangun berdasarkan kesadaran diri. Jika seseorang terbuka pada emosi sendiri, ia akan terampil membaca perasaan orang lain.
d. Membina hubungan dengan orang lain
Seni dalam membina hubungan dengan orang lain merupakan keterampilan sosial yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan orang lain. Tanpa memiliki keterampilan, seseorang akan mengalami kesulitan dalam pergaulan sosial.
6. Implikasi Pembangunan Emosi Remaja terhadap Penyelenggaraan Pendidikan
Sehubungan dengan emosi remaja yang cenderung benyak melamun dan sulit diterka maka, satu-satunya hal yang dapat guru lakukan adalah memperlakukan siswa seperti orang dewasa yang penuh dengan rasa tenggung jawab moral. Guru dapat membantu mereka yang bertingkah laku kasar dengan jalan mencapai keberhasilan dalam perkerjaan atau tugas-tugas sekolah, sehingga mereka menjadi lebih mudah ditangani, salah satu cara yang mendasar adalah dengan mendorong meraka untuk bersaing dengan diri sendiri.
Untuk menunjukan kematangannya, remaja terutama laki-laki sering terdorong untuk menentang otoritas orang dewasa, seseorang guru SMP atau SMA akan dianggap dalam posisi otoritas. Sehingga merupakan target dari pemberontakan mereka. Cara yang paling cepat untuk menghadapi pemberontakan para remaja adalah: 1) mencoba untuk mengerti mereka, dan 2 melakukan segala sesuatu untuk membantu mereka agar berprestasi dalam bidang ilmu yang diajarkan. Jika para guru menyadari untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan tersebut pada diri siswa walaupun dalam cara-cara yang amat terbatas, pemberontakan dan sikap permusuhan siswa di kelas akan dapat dikurangi.
Seorang siswa yang merasa bingung terhadap kondisi tersebut mungkin merasa perlu menceritakan penderitaannya, termasuk rahasia-rahasia pribadinya kepada orang lain. Oleh karena itu, seseorang guru pembimbing hendaknya tampil berfungsi dan bersikap seperti pendengar yang simpatik.
H. Perkembangan Nilai, Moral, dan Sikap peserta Didik Usia Remaja
1. Pengertian Nilai, Moral, dan sikap
Proses pertumbuhan dan perkembangan pengetahuan bentuk sikap dan tingkah laku merupakan proses kejiwaan yang bersifat muskil. Seseorang individu yang ada waktu tertentu melakukan perbuatan tercela ternyata tidak selalu kerena ia tidak mengetahui bahwa perbuatan itu tercela, atau tidak sesuai dengan perbuatan baik dan norma sosial. Berbuat sesuatu secara fisik adalah bentuk tingkah laku yang mudah dilihat dan diukur. Akan tetapi, di dalamnya tidak cukup sikap mental yang tidak selalu mudag ditangapi, kecuali ia tidak langsung, misalnya melalui ucapan atau perbuatan yang sangat dapat menggambarkan sikap mental tersebut.
Dalam kaitanya dengan nilai, moral merupakan kontrol dalam sikap dan tingkah laku sesuai dengan nilai-nilai hidup yang dimaksud, misalnya dalam pengamalan nilai tenggang rasa, dalam melakukannya seseorangakan selalu memerhatikan perasaan orang, sehingga tidak berbuat sekendak hatinya. Menurut Santrock,1995 berpendapat bahwa moral adalah sesuatu yang berkaitan dengan aturan dan konvensi mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain. Nilai-nilai kehidupan menyangkut persoalan baik dan buruk, sehinga berkaitan denga persoalan, dalam hal ini aliran psikonalisis tidak tidak membedakan antara sosial, norma, dan nilai (Sarlito, 1991:91). Semua konsep itu menurut Freud menyatu dalam konsepnya tentang seperego. Seper ego dalam teori Freud merupakan bagian dari jiwa yang berfungsi untuk mengendalikan tingkah laku (ego) sehinga tidak bertentangan dengan nilai-nilai masyarakat.
2. Karakteristik Nilai, Moral, dan Sikap Remaja
Salah satu tugas perkembangan yang harus dilakukan remaja adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompok masyarakatnya. Remaja diharapkan menggati konsep-konsep moral yang berlaku umum dan merumuskan ke dalam kode moral yang berfungsi sebagai pedoman perilakunya. Micheal mengemukakan lima perubahan dasar dalam moral yang harus dilakukan oleh remaja, yaitu sebagai berikut.
a. Pandangan moral individu makin lama menjadi lebih abstrak
b. Keyakinan moral lebih berpusat pada apa yang benar dan kurang pada apa yang salah
c. Penilaian moral yang semakin kognitif mendorong remaja untuk berani mengambil keputusan terhadap berbagai masalah yang dihadapi
d. Penilaian moral secara psikologis menjadi lebih mudah dalam arti bahwa penilaian moral menimbulkan ketegangan emosi

Tahap-tahap perkembangan moral dapat dibagi sebagai berikut.
a. Tingkat prakonvensional
Anak tanggap terhadap aturan-aturan budaya dan terhadap ungkapan-ungkapan budaya mengenai baik dan buruk, benar dan salah. Akan tetapi hal ini semata-mata ditafsirkan darisegi sebab akibat fisik atau kenikmatan perbuatan (hukuman, keuntungan, pertukaran kebaikan), tingkat ini dapat di bagi dua tahap:
1) Tahap orientasi hukuman dan keputusan
2) Tahap orientasi relativitas-instrumental

b. Tingkat konvensional
Pada tingkat ini, anak hanya menuruti harapan keluarga, kelompok atau bangsa. Ia memandang bahwa hal tersebut bernilai bagi dirinyasendiri, tanpa mengindahkan akibat yang segera dan nyata. Sikapnya bukan hanya konformitas terhadap harapan pribadi dan tata tertib sosial, melaikan juga loyal (setia) terhadapnya dan secara aktif mempertahankan, mendukung dan membenarkan seluruh tata-tertib atau norma-norma tersebut serta mengidentifikasikan diri dengan orang tua kelompok yang terlihat di dalamnya, teingkatan ini memiliki dua tahap:
1) Tahap orientasi kesempatan antara pribadi atau orientasi
2) Tahap orientasi hukuman dan keterteban

c. Tingkat pasca-konvensional (otonom/berdasarkan prinsip)
Pada tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai dan prinsip moral yang dimiliki keabsahan dan dapat diterapkan, terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip-prinsip itu dan selepas pula dari identifikasi individu sendiri dengan kelompok tersebut. Ada dua tehap pada tingkat ini:
1) Tahap orientasi kontrak sosial legalitas
2) Tahap orientasi prinsip etika universal

3. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perkembangan Nilai, Moral, dan Sikap
Perkembangan internalisasi nilai-nilai terjadi melalui identifikasi dengan orang-orang yang dianggapnya sebagai model. Bagi anak-anak usia 12-16 tahun, gambaran ideal yang diidentifikasikan adalah orang-orang dewasa yang berwibawa atau simpatik, orang-orang terkenal, dan hal-hal yang ideal yang diciptakan sendiri.
Para sosiolog berangapan bahwa masyarakat mempunyai peran penting dalam pembentukan moral. Tingkah laku yang terkendali disebabkan oleh adanya kontrol dari masyarakat itu sendiri yang mempuyai sangsi-sangsi tersendiri buat si pelangar.
Teori perkembangan moral yang di kemukakan oleh Kohlberg menunjukan bahwa sikap moral bukan hasil sosialisasi yang diperoleh dari kebiasaan danhal-hal lainyang berhubungan dengan nilaikebudayaan. Tahap perkembangan moral terjadi dari aktivitas spotan pada masa anak-anak (Singgih Gunarsa, 1990:202). Anak memang bekembang melalui interaksi sosial tetapi interaksi ini mempunyai corak yang khusus dan faktor pribadi anak ikut berperan.
4. Implikasi Pengembangan Nilai, Moral, dan Sikap Remaja terhadap Penyelenggaraan Pendidikan
Perwujudan nilai, moral dan sikap tidak terjadi dengan sendirinya, proses yang dilalui seseorang delam pengembangan nilai-nilai hidup tertentu adalah sebuah proses yang belum seluruhnya dipahami para ahli (Surakmad, 19980:17). Apa yang terjadi di dalam diri pribadi seseorang bhanya dapat didekati memalui cara-cara tidak langsung, yakni dengan mempelajari gekala tingkah laku orang tersebut, mampu membandingkan dengan gejala serta tingkah laku orang lain. Di antara proses kejiwaan yang sulit untuk dipahami adalag proses terjelmanya nilai-nilai hidup dalam diri individu, yang mungkin didahului oleh pengenalan nilai secara intelektual, disusul oleh penghayatan nilai tersebut, dan kemudian tumbuh dala diri seseorang sedemikian rupa kuatnya sehingga seluruh jaln pikiran, tingkah lakunya, serta sikapnya terhadap segala sesuatu di luar dirinya, bukan saja diwarnai, tetapi juga dijiwai oleh nilai-nilai tersebut.

PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN

A. Konsep Kebutuhan Individu
Individu adalah pribadi yang utuh dan kompleks. Kekompleksan tersebut dikaitkan dengan kedudukannya sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Menurut Afrooz (1996) need adalah a natural requerment we should be satisfied in order to socure a better organic compatibility.sedangkan menurut chaplin (2002) mendefenisikan kebutuhan sebagai satu substansi seluler yang harus dimiliki oleh organisme tersebut dapat tetap dan sehat.
. Kebutuhan sosial psikologis semakin banyak dibandingkan dengan kebutuhan fisik karena pengalaman kehidupan sosialnya semakin luas. Kebutuhan itu timbul karena adanya dorongan-dorongan (motif). Dorongan adalah keadaan dalam pribadi seseorang yang mendorongnya untuk melakukan sesuatu perbuatan untuk mencapai tujuan tertentu (Sumadi, 1971: 70; Lefton, 1982:137). Lefton (1982) menyatakan bahwa kebutuhan dapat muncul karena keadaan psikologis yang mengalami goncangan atau ketidakseimbangan. Munculnya kebutuhan tersebut untuk mencapai keseimbangan atau keharmonisan hidup.
Kebutuhan dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu kebutuhan primer dan kebutuhan sekunder. Kebutuhan primer pada hakikatnya merupakan kebutuhan biologis atau organik dan umumnya merupakan kebutuhan yang didorong oleh motif asli. Contoh kebutuhan primer, antara lain adalah: makan, minum, bernapas, dan kehangatan tubuh. Pada tingkat remaja dan dewasa, kebutuhan primer ini dapat bertambah, yaitu kebutuhan seksual.
Adapun kebutuhan sekunder umumnya merupakan kebutuhan yang didorong oleh motif yang dipelajari, seperti kebutuhan untuk mengejar pengetahuan, kebutuhan untuk mengikuti pola hidup bermasyarakat, kebutuhan akan hiburan, alat transportasi, dan semacamnya.
Cole dan Bruce (1959) (Oxendine, 1984:227) membedakan kebutuhan menjadi dua kelompok, yaitu kebutuhan fisiologis dan kebutuhan psikologis. Pengelompokan ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Murray (1938) (Oxendine, 1984:227) yang mengajukan istilah yang berbeda., yaitu kebutuhan viscerogenic dan kebutuhan psychogenic. Beberapa contoh kebutuhan fisiologis adalah: makan, minum, istirahat, seksual, perlindungan diri, sedangkan kelompok kebutuhan psikologis, seperti yang dikemukakan Maslow (1943) mencakup (i) kebutuhan untuk memiliki sesuatu, (ii) kebutuhan akan cinta dan kasih sayang, (iii) kebutuhan akan keyakinan diri, dan (iv) kebutuhan aktualisasi diri.
Dalam perkembangan kehidupan yang semakin kompleks, pemisahan jenis kebutuhan yang didorong oleh motif asli dan motif-motif yang lain semakin sukar dibedakan.
Kebutuhan social psikologis seorang individu terus mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan kondisi kehidupannya yang semakin luas dan komleks. Freud mengemukakan bahwa sikap dan perilaku manusia didorong oleh factor seksual (dorongan seksual) dengan yang teorinya yang terkenal sebagai teori libido seksual. Pandangannya tentang konsep diri juga dikaitkan dengan teori libido seksual ini. Ia mengemukakan bahwa prinsip kenikmatan senantiasa mendasari perkembangan sikap dan perilaku manusia, dan dengan prinsip itu, ia menyatakan bahwa factor pendorong utama perilaku manusia adalah dorongan seksual.
Namun Freud menjadi terkenal sehubungan dengan pandangannya yang pada pokoknya menyatakan bahwa dalam perkembangan manusia terjadi pertentangan antara kebutuhan insting pribadi dan tuntutan masyarakat. Dalam pendekatannya terhadap pembentukan kepribadian, ia mengemukakan perlunya penyelesaian pertentangan tersebut dengan pendekatan analisis psikologik, sehingga teori Freud itu terkenal dengan teori psikoanalisis.
Menurut teori Freud, struktur kepribadian seseorang berunsurkan tiga komponen utama, yaitu ; id, ego, dan superego. Ketiganya merupakan factor-faktor penting yang mendorong terbentuknya sikap dan perilaku manusia serta struktur pribadi. Teori psikoanalisis Freud diawali dengan mengemukakan asumsi bahwa dorongan utama yang pada hakikatnya berada pada id, senantiasa akan muncul pada setiap perilaku.
Kebutuhan psikologis muncul dalam kehidupan manusia, saperti apa yang dialami setiap hari secara emosional; yaitu: senang, puas, susah, lega, kecewa, dan semacamnya. Karena hidup bersama di dalam masyarakat, manusia ingin mengatur dan mengikuti peraturan yang berlaku di dalam kehidupan bermasyarakat, sekalipun kadang-kadang hal ini amat sukar. Untuk itu, manusia belajar memahami norma-norma atau sifat-sifa norma, artinyo perilaku manusia diarahkan dan disesuaikan dengan kehidupan bermasyarakat.

B. Kebutuhan Dasar Individu
Pada bayi, perilakunya didominasi oleh kebutuhan-kebutuhm biologis, yakni kebutuhan untuk mempertahankan diri. Kebutuhm ini disebut definciency need artinya kebutuhan untuk pertumbuhan dan memang diperlukan untuk hidup (survival). Kemudian, pada masa kehidupan berikutnya, muncul kebutuhan untuk mengembangkan diri. Berkembangnya kebutuhan ini terjadi karena pengaruh faktor lingkungan dan faktor belajar, seperti kebutuhan akan cinta kasih, kebutuhan untuk memiliki (yang ditandai berkembangnya "aku" manusia kecil). Kebutuhan harga diri, kebutuhan akan kebebasan, kebutuhan untuk berhasil, dan munculnya kebutuhan untuk bersaing dengan yang lain. Menurut Maslow indikasi dari kebutuhan akan rasa aman pada anan-anak adalah kebergantungan.
kebutuhan yang paling mendasar adalah kebutuhan yang berkaitan dengan kepentingan jasmaniah atau organisme, baik yang berkaitan dengan usaha mengembangkan diri, memperoleh keamanan, maupun mempertahankan diri.
Menurut Lewis dan Lewis (1993), kegiatan remaja atau manusia itu didorong oleh berbagai kebutuhan, yaitu:
a. kebutuhan jasmaniah,
b. kebutuhan psikologis,
c. kebutuhan ekonomi,
d. kebutuhan sosial,
e. kebutuhan politik,
f. kebutuhan penghargaan, dan
g. kebutuhan aktualisasi diri.

C. Kebutuhan Peserta Didik Usia Sekolah Menengah (Remaja) dan Pemenuhannya
Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa. Hall (dalam Libert dan kawan-kawan, 1974:47B) memandang masa remaja ini sebagai masa ''storm and stress”. Ia menyatakan bahwa selama masa remaja, banyak masalah yang dihadapi karena remaja itu berupaya menemukan jati diri (identitasnya) - kebutuhan aktualisasi diri. Usaha penemuan jati diri remaja dilakukan dengan berbagai pendekatan agar ia dapat mengaktualisasi diri secara baik. Beberapa jenis kebutuhan remaja dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok kebutuhan, yaitu:
1. Kebutuhan organik, yaitu makan, minum, bernapas, seks;
2. Kebutuhan emosional, yaitu kebutuhan untuk mendapatkan simpati dan pengakuan dari pihak lain dikenal dengan n'Aff.
3. Kebutuhan berprestasi atau need of achievement (yang dikenal dengan n'Ach), yang berkembang karena didorong untuk mengembangkan potensi yang dimiliki dan sekaligus menunjukkan kemampuan psikofisis; dan
4. Kebutuhan untuk mempertahankan diri dan mengembangkan jenis


Pertumbuhan fisik dan perkembangan sosial-psikologis pada masa remaja pada dasarnya merupakan kelanjutan, yang dapat diartikan penyempurna proses pertumbuhan dan perkembangan dari proses sebelumnya. Pertumbuhan fisik yang ditandai munculnya tanda-¬tanda kelamin sekunder merupakan awal masa remaja sebagai indicator menuju tingkat kematangan funqsi seksualnya.
Remaja membutuhkan pengakuan akan kemampuannya, yang menurut Maslow kebutuhan ini disebut kebutuhan penghargaan. Remaja membutuhkan penghargaan dan pengakuan bahwa ia (mereka) telah mampu berdiri sendiri, mampu melaksanakan tugas-tugas seperti yang dilakukan oleh orang dewasa, dan dapat bertanggung jawab atas sikap dan perbuatan yang dikerjakannya. ¬Faktor nonfisik, yang secara integratif tergabung di dalam factor sosial-psikologis dijiwai oleh tiga dasar yang dimiliki manusia, yaitu pikir, rasa, dan kehendak. Ketiganya secara potensial mendorong munculnya berbagai kebutuhan.
Beberapa masalah yang dihadapi remaja sehubungan dengan kebutuhan-kebutuhannya dapat diuraikan sebagai berikut.
1. Upaya untuk mengubah sikap dan perilaku kekanak-kanakan menjadi sikap dan perilaku dewasa, tidak semuanya dapat dengan rnudah dicapai, baik oleh remaja laki-laki maupun perempuan. Pada masa ini, remaja menghadapi tugas-tugas dalam perubahan sikap dan perilaku yang besar, sedang di pihak lain harapan ditumpukan pada remaja muda untuk meletakkan dasar-dasar bagi pembentukan sikap dan pola perilaku. Kegagalan dalam mengatasi ketidakpuasan ini dapat mengakibatkan menurunnya harga diri, dan akibat lebih lanjut dapat menjadikan remaja bersikap keras dan agresif atau sebaliknya tidak percaya diri, pendiam atau kurang harga diri.
2. Sering para remaja mengalami kesulitan untuk menerima perubahan-perubahan fisiknya. Hanya sedikit remaja yang merasa puas dengan tubuhnya. Hal ini disebabkan pertumbuhan tubuhnya dipandang kurang serasi. Ketidakserasian proporsi tubuh ini sering menimbulkan kejengkelan karena ia (mereka) sulit untuk mendapatkan pakaian yang pantas, juga hal itu tampak pada gerakan atau perilaku yang kelihatannya wagu dan tidak pantas.

3. Perkembangan fungsi seks pada masa ini dapat menimbulkan remaja untuk memahaminya, sehingga sering terjadi salah tingkah dan perilaku yang menentang norma. Pandangannya terhadap sebaya lain jenis kelamin dapat menimbulkan kesulitan dalam pergaulan. Remaja laki-laki akan berperilaku “menentang norma” dan remaja perempuan akan berperilaku “mengurung diri” atau menjauhi pergaulan dengan sebaya lain jenis. Apabila kematangan seksual itu tidak mendapat pengarahan atau penyaluran yang tepat, dapat berakibat negatif Konsekuensi yang diderita sering berbentuk pelarian yang bertentangan dengan norma susila dan sosial, seperti homoseksua, lari ke kehidupan “hitam” atau melacur, dan semacamnya. Remaja pria secara berkelompok kadang-¬kadang mencoba pergi bersama-sama ke lokasi “berlampu merah” atau lokasi WTS.
4. Dalam memasuki kehidupan bermasyarakat, remaja yang terlalu mendambakan kemandirian, dalam arti menilai dirinya cukup mampu untuk mengatasi problem kehidupan, kebanyakan akan menghadapi masalah, terutama masalah penyesuaian emosional, seperti perilaku yang over acting, “lancang", dan semacamnya. Kehidupan bermasyarakat banyak menuntut remaja untuk banyak menyesuaikan diri, namun yang terjadi tidak semuanya selaras. Dalam hal terjadi ketidakselarasan antara pola hidup masyarakat dan perilaku yang menurut para remaja, dapat berakibat kejengkelan. Remaja merasa selalu “disalahkan” dan akibatnya mereka frustasi dengan tingkah lakunya sendiri.
5. Harapan-harapan untuk dapat berdiri sendiri dan hidup mandiri, secara sosial ekonomis akan berkaitan dengan berbagai masalah untuk menetapkan pilihan jenis pekerjaan dan jenis pendidikan. Penyesuaian sosial merupakan salah satu yang sangat sulit dihadapi oleh remaja, yaitu keragaman norma dalam kehidupan bersama dalam masyarakat, norma dalam kehidupan sebaya remaja dan kuatnya pengaruh kelompok sebaya.

6. Berbagai norma dan nilai yang berlaku di dalam hidup bermasyarakat merupakan masalah tersendiri bagi remaja; sedang di pihak remaja, ia merasa memiliki nilai dan norma kehidupan yang dirasa lebih sesuai. Dalam hal ini ia menghadapi perbedaan nilai dan norma kehidupan. Menghadapi perbedaan norma ini merupakan kesulitan tersendiri bagi kehidupan remaja. Sering perbedaan norma yang berlaku dan norma yang dianutnya menimbulkan perilaku yang menyebabkan dirinya dikatakan “nakal”.

D. Kemandirian Sebagai Kebutuhan Psikologis pada Remaja
1. Pengertian Kemandirian
Kemandirian menurut Erikson (1989) adalah usaha untuk melepaskan diri dari orangtua dengan maksud untuk menemukan dirinya melalui proses mencari identitas ego yaitu merupakan perkembangan kearah individualitas yang mantap dan berdiri sendiri. Sedangkan Kemandirian, menurut Sutari Imam Barnadib (1982), meliputi “perilaku mampu berinisiatif, mampu mengatasi hambatan/masalah, mempunyai rasa percaya diri dan dapat melakukan sesuatu sendiri tanpa bantuan orang lain”. Pendapat tersebut juga diperkuat oleh Kartini dan Dali (1987) yang mengatakan bahwa kemandirian adalah “hasrat untuk mengerjakan segala sesuatu bagi diri sendiri”. Secara singkat, dapat disimpulkan bahwa kemandirian mengandung pengertian:
1. Keadaan seseorang yang memiliki hasrat bersaing untuk maju demi kebaikan dirinya,
2. Mampu mengambil keputusan dan inisiatif untuk mengatasi masalah yang dihadapi,
3. Memiliki kepercayaan diri dalam mengerjakan tugas-tugasnya,
4. Bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya.

Robert Havighurst (1972) menambahkan bahwa kemandirian terdiri dari beberapa aspek, yaitu:
a. Emosi, aspek ini ditunjukkan dengan kemampuan mengontrol emosi dan tidak bergantung kepada orangtua.
b. Ekonomi, aspek ini ditunjukkan dengan kemampuan mengatur ekonomi dan tidak bergantungnya kebutuhan ekonomi pada orangtua.
c. Intelektual, aspek ini ditunjukkan dengan kemampuan untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi.
d. Sosial, aspek ini ditunjukkan dengan kemampuan, untuk mengadakan interaksi dengan orang lain dan tidak bergantung atau menunggu aksi dari orang lain.


3. Proses Perkembangan Kemandirian

Latihan kemandirian yang diberikan kepada anak harus disesuaikan dengan usia anak. Contoh: untuk anak-anak usia 3-4 tahun, latihan kemandirian dapat berupa membiarkan anak memasang kaos kaki dan sepatu sendiri, membereskan mainan setiap kali selesai bermain, dan lain-lain. Sementara untuk anak remaja, berikan kebebasan misalnya dalam memilih jurusan atau bidang studi yang diminatinya, atau memberikan kesempatan kepadanya untuk memutuskan sendiri jam berapa ia harus sudah pulang ke rumah jika ia keluar malam bersama temannya tentu saja orangtua perlu mendengarkan argumentasi yang disampaikan sang remaja tersebut sehubungan de'ngan keputusannya. Dengan memberikan latihan-latihan tersebut (tentu saja harus ada unsur pengawasan dari orangtua untuk memastikan bahwa latihan tersebut benar-benar efektif), diharapkan dengan bertambahnya usia akan bertarnbah pula kemampuan anak untuk berpikir secara objektif, tidak mudah dipengaruhi, berani mengambil keputusan sendiri, tumbuh rasa percaya diri, tidak bergantung pada orang lain sehingga kemandirian akan berkembang dengan baik.

3. Kemandirian sebagai Kebutuhan Psikologis Remaja
Memperoleh kebebasan (mandiri) merupakan suatu tugas bagi remaja. Dengan kemandirian tersebut, remaja harus belajar dan berlatih dalam membuat rencana, memilih alternatif, membuat keputusan, bertindak sesuai dengan keputusannya sendiri serta bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dilakukannya.
Dalam pencarian identitas diri, remaja cenderung untuk melepaskan diri sendiri sedikit demi sedikit dari ikatan psikis orangtuanya.
Kemandirian seorang remaja diperkuat melalui proses sosialisasi yang terjadi antara remaja dengan remaja dan teman sebaya. Hurlock (1991) mengatakan bahwa melalui hubungan dengan teman sebaya, remaja belajar berpikir secara mandiri, mengambil keputusan sendiri, menerima (bahkan dapat juga menolak) pandangan dan nilai yang berasal dari keluarga dan mempelajari pola perilaku yang diterima di dalam kelompoknya. Kelompok teman sebaya merupakan lingkungan social pertama tempat remaja belajar untuk hidup bersama dengan orang lain yang bukan anggota keluarganya. Ini dilakukan dengan tujuan mendapatkan pengakuan dan penerimaan kelompok teman sebayanya sehingga tercipta rasa aman.

4. Peran Orangtua terhadap Pembentukan Kemandirian Remaja
Bagaimana orangtua harus bertindak dalam menyikapi tuntutan kemandirian seorang remaja, berikut ini terdapat beberapa saran yang layak dipertimbangkan.
a. Komunikasi
b. Kesempatan
c. Tanggung Jawab
d. Konsistensi
Konsistensi orangtua dalam menerapkan disiplin dan menanamkan nilai-nilai sejak masa kanak-kanak dalam keluarga ini menjadi panutan bagi remaja untuk mengembangkan kemandirian dan berpikir secara dewasa. Orangtua yang konsisten memudahkan remaja dalam membuat rencana hidupnya sendiri, dapat memilih berbagai alternatif karena segala sesuatu sudah dapat diramalkan olehnya.

E. Kepercayaan Diri sebagai Kebutuhan Remaja
1. Pengertlan Kepercayaan Diri
Kepercayaan diri adalah sikap positif seorang individu yang memampukan dirinya untuk mengembangkan penilaian positif, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungan/situasi yang dihadapinya. Hal ini akan berarti bahwa individu tersebut mampu dan kompeten melakukan segala sesuatu seorang diri, alias “sakti”. Rasa percaya diri yang tinggi sebenarnya hanya merujuk pada adanya beberapa aspek dari kehidupan individu tersebut bahwa ia merasa memiliki kompetensi, yakin mampu dan percaya bahwa dia bisa – karena didukung oleh pengalaman, potensi aktual, prestasi serta harapan yang realistik terhadap diri sendiri.
2. Karakteristik Individu yang Percaya Diri
Baberapa cirri atau karakteristik individu yang mempunyai rasa percaya diri yang proporsional, di antaranya adalah berikut ini.
a. Percaya akan kompetensi/kemampuan diri, hingga tidak memhutuhkan pujian, pengakuan, penerimaan, ataupun hormat orang lain.
b. Tidak terdorong untuk menunjukkan sikap konformis demi diterima oleh orang lain atau kelompok.
c. Berani menerima dan menghadapi penolakan orang lain, berani menjadi diri sendiri.
d. Punya pengendalian diri yang baik (tidak moody dan emosinya stabil).
e. Memiliki internal locus of control (memandang keberhasilan atau kegagalan, bergantung pada usaha diri sendiri dan tidak mudah menyerah pada nasib atau keadaan serta tidak bergantung/mengharapkan bantuan orang lain).

4. Perkembangan Rasa Percaya Diri

a. Pola Asuh
Menurut para psikolog, orangtua dan masyarakat sering maletakkan standar dan harapan yang kurang realistik terhadap seorang anak atau individu. Sikap suka membanding-bandingkan anak, mempergunjingkan kelemahan anak, atau membicarakan kelebihan anak lain di depan anak sendiri, tanpa sadar, menjatuhkan harga diri anak-anak tersebut. Selain itu, tanpa sadar masyarakat sering menciptakan trend yang dijadikan standar patokan sebuah prestasi atau penerimaan sosial. Contoh kasus yang real pernah terjadi di tanah air, ketika seorang anak bunuh diri gara-gara dirinya tidak diterima masuk di jurusan Al (IPA), meskipun dia sudah bersekolah di tempat yang elit; rupanya sang orangtua mengharap anaknya diterima di Al atau paling tidak A2, agar kelak bisa menjadi dokter.

b. Polo pikir negatif
Dalam hidup bermasyarakat, setiap individu mengalami berbagai masalah, kejadian, bertemu orang-orang baru, dan sebagainya.
 Labeling: mudah menyalahkan diri sendiri dan mamberikan sebutan-sebutan negatif, seperti “saya memang bodoh”… “Saya ditakdirkan untuk menjadi orang susah”, dan sebagainya.
 Sulit menerima pujian atau hal-hal positif dari orang lain: ketika orang memuji secara tulus, ia langsung merasa tidak enak dan menolak mentah-mentah pujiannya. Ketika diberi kesempatan dan kepercayaan untuk menerima tugas atau peran yang penting, ia langsung menolak dengan alasan tidak pantas dan tidak layak untuk menerimanya.
 Suka mengecilkan arti keberhasilan diri sendiri: senang mengingat dan bahkan membesar-besarkan kesalahan yang dibuat, namun mengecilkan keberhasilan yang pernah diraih. Satu kesalahan kecil membuatnya merasa menjadi orang tidak berguna.

4. Memupuk Rasa Percaya Diri
a. Evaluasi diri secara obyektif
Belajar menilai diri secara objektif dan jujur. Susunlah daftar “kekayaan” pribadi, seperti prestasi yang pernah diraih, sifat-sifat positif, potensi diri baik yang sudah diaktualisasikan maupun yang belurn, keahlian yang dimiliki, serta kesempatan atau sarana yang mendukung kemajuan diri.
Pelajari kendala yang selama ini menghalangi perkembangan diri Anda, seperti: pola berpikir yang keliru, niat dan motivasi yang lemah, kurangnya disiplin diri, kurangnya ketekunan dan kesabaran, selalu bergantung pada bantuan orang lain, atau sebab-sebab eksternal lain.


b. Beri Penghargaan yang Jujur terhadap Diri
Sadari dan hargailah sekecil keberhasilan dan potensi yang Anda miliki. Ingatlah bahwa semua itu didapat melalui proses belajar, berevolusi dan transformasi diri sejak dahulu hingga kini. Mengabaikan/meremehkan satu saja prestasi yang pernah diraih, berarti mengabaikan atau menghilangkan satu jejak yang membantu Anda menemukan jalan yang tepat menuju masa depan. Contoh: ingin cepat kaya, ingin cantik, populer, mendapat jabatan penting dengan segala cara.

c. Positive thinking
Cobalah memerangi setiap asumsi, prasangka atau persepsi negatif yang muncul dalam benak Anda. Katakan pada diri sendiri. Jangan biarkan pikiran negative berlarut-larut karena tidak sadar, pikiran itu akan terus berakar, bercabang, dan berdaun. Semakin besar dan
menyebar, makin sulit dikendalikan dan dipotong. Jangan biarkan
pikiron negatif menguasai pikiran dan perasaan Anda. Hati-hatilah agar masa depan Anda tidak rusak karena keputusan keliru yang
dihasilkan oleh pikiran keliru. Jika pikiran itu muncul, cobalah menuliskannya untuk kemudian di-review kembali secara logis dan asional. Pada umumnya, orang lebih bisa melihat bahwa pikiran itu ternyata tidak benar.

d. Gunakan self-affirmation
Untuk memerangi negative thinking, gunakon self-affirmation yaitu berupa kata-kata yang membangkitkah rasa percaya diri.
Contohnya:
 Saya pasti bisa!
 Saya adalah penentu dari hidup saya sendiri. Tidak ada orang yang boleh menentukan hidup saya!
 Saya bisa belajar dari kesalahan ini. Kesalahan ini sungguh menjadi pelajaran yang sangat berharga karena membantu saya memahami tantangan.
 Sayalah yang memegang kendali hidup ini.
 Saya bangga pada diri sendiri.


e. Berani mengambil risiko
Jangan mengalami over confidence otau rasa percaya diri yang berlebih-lebihan/overdosis. Rasa percaya diri yang overdosis bukanlah menggambarkan kondisi kejiwaan yang sehat karena hal tersebut merupakan rasa percaya diri yang bersifat semu.
Rasa percaya diri yang berlebihan pada umumnya tidak bersumber dari potensi diri yang ada, namun lebih didasari oleh tekanan-tekanan yang mungkin datang dari orangtua dan masyarakat (social), hingga tanpa sadar melandasi motivasi individu untuk “harus” menjadi orang sukses.

F. Implikasi Pemenuhan Kebutuhan Remaja terhadap Penyelenggaraan Pendidikan

Pemenuhan kebutuhan fisik atau organik merupakan tugas pokok. Kebutuhan ini harus dipenuhi karena merupakan kebutuhan untuk mempertahankan kehidupan agar tetap tegar (survival). Tidak berbeda dengan pemenuhan kebutuhan serupa di masa perkembangan sebelumnya, kebutuhan ini sangat dipengaruhi oleh factor ekonomi, terutama ekonomi keluarga.
Khusus kebutuhan seksual, yang juga merupakan kebutuhan fisik remaja, usaha pemenuhannya harus mendapat perhatian khusus dari orangtua, terutama ibu.
Pendidikan seksual di sekolah dan terutama di kalangan keluarga harus mendapatkan perhatian. Program bimbingan keluarga dan bimbingan perkawinan dapat dilakukan secara periodic oleh setiap organisasi ibu-ibu dan organisasi wanita pada umumnya. Sekolah sekali-kali perlu mendatangkan ahli atau dokter untuk memberikan ceramah – penjelasan tentang masalah-masalah remaja, khususnya masalah seksual.
Untuk mengembangkan kemampuan hidup bermasyarakat dan mengenalkan berbagai norma social, amat penting dikembangkan kelompok-kelompok remaja untuk berbagai urusan, seperti kelompok olah raga, kelompok seni dan music, kelompok koperasi, kelompok belajar, dan semacamnya. Pada saat sekolah menyelenggarakan acara-acara tertentu, seperti malam pertemuan, atau perpisahan sekolah, ada baiknya anak-anak ditugasi untuk ikut mengurus atau dilibatkan sebagai panitia penyelenggara.


PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK PADA USIA SEKOLAH MENENGAH
A. Tugas-tugas perkembangan peserta didik usia sekolah menengah (remaja)
Tugas-tugas perkembangan merupakan suatu proses yang menggambarkan perilaku kehidupan sosio-psikologis manusia pada posisi yang harmonis di dalam lingkungan masyarakat yang lebih luas dan kompleks. Proses tersebut merupakan tugas-tugas perkembangan fisik dan psikis yang harus dipelajari, dijalani, dan dikuasai oleh setiap individu.
Secara sadar, pada akhir masa anak-anak, seorang individu akan berupaya untuk bersikap dan berperilaku lebih dewasa dan intelek. Hal ini merupakan “tugas” yang cukup berat bagi para remaja untuk lebih menuntaskan tugas-tugas perkembangannya, sehubungan dengan semakin luas dan kompleksnya kondisi kehidupan yang harus dihadapi dan dijalaninya. Mereka menjalani tugas mempersiapkan diri untuk dapat hidup lebih dewasa, dalam arti mampu menghadapi dan memecahkan masalah, bertindak etis dan normatif serta bertanggungjawab moral. Tugas-tugas perkembangan tersebut oleh Havighurst dikaitkan dengan fungsi belajar karena pada hakikatnya perkembangan kehidupan manusia dipandang sebagai upaya mempelajari nilai dan norma kehidupan sosial budaya agar mampu melakukan penyesuaian diri dalam kehidupan nyata di masyarakat. Makna “dewasa” dapat diartikan dari berbagai segi, sehingga dikenal istilah dewasa secara fisik, dewasa secara mental, dewasa secara sosial, dewasa secara psikologis, dewasa secara hukum, dan sebagainya.
Havighurst (Garrison, 1956: 14 : 15) mengemukakan 10 jenis tugas perkembangan remaja, yaitu :
1. Mencapai hubungan pertemanan dengan lawan jenisnya secara lebih matang;
2. Mencapai perasaan seks yang diterima secara sosial;
3. Menerima keadaan badannya dan menggunakannya secara efektif;
4. Mencapai kebebasan emosional dari orang dewasa;
5. Mencapai kebebasan ekonomi;
6. Memilih dan menyiapkan suatu pekerjaan;
7. Menyiapkan perkawinan dan kehidupan berkeluarga;
8. Mengembangkan keterampilan dan konsep intelektual yang perlu bagi warga negara yang berkompeten;
9. Menginginkan dan mencapai tingkah laku yang bertanggung jawab secara moral dan sosial;
10. Memahami suatu perangkat tata nilai yang digunakan sebagai pedoman tingkah laku.

Tugas-tugas perkembangan tersebut pada dasarnya tidak dapat dipisahkan karena remaja adalah pribadi yang utuh secara individual dan sosial. Namun demikian, banyak hal yang harus diselesaikan selama masa perkembangan remaja yang singkat ini.
Memasuki jenjang usia dewasa, telah terbayang berbagai hal yang harus dihadapinya. Bukan saja menghadapi hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan fisik, sosial, dan ekonomi, tetapi juga menghadapi tugas-tugas perkembangan yang berkaitan dengan faktor psikologis, seperti pencapaian kebahagiaan dan kepuasan, persaingan, kekecewaan, dan perang batin yang bisa terjadi karena perbedaan nilai dan norma dalam kehidupan sosial.
B. Hukum-hukum Pertumbuhan dan Perkembangan
Pada setiap makhluk hidup, sejak kelahiran dan dalam menjalani kehidupan seterusnya, terdapat dasar dan pola kehidupan yang berlaku umum sesuai dengan jenis dan spesiesnya. Latar belakang sosial budaya akan mempengaruhi pola pertumbuhan dan perkembangan pribadi anak. Dengan demikian, akan terbentuk karakteristik-karakteristik yang menjadi pola khusus. Di antara pola-pola khusus itu, bahkan antara pribadi dengan pribadi, juga terdapat perbedaan-perbedaan tertentu.
Berdasarkan persamaan dan perbedaan itulah diperoleh kecenderungan umum dalam pertumbuhan dan perkembangan, yang selanjutnya dinamakan hukum-hukum pertumbuhan dan perkembangan. Adapun hukum-hukum perkembangan adalah sebagai berikut :
1. Hukum Cephalocoundal
Hukum ini menyatakan bahwa pertumbuhan fisik dimulai dari kepala ke arah kaki. Bagian-bagian pada kepala tumbuh lebih dahulu daripada bagian-bagian lain. Hal ini terlihat pada pertumbuhan prenatal pada janin. Seorang bayi yang baru dilahirkan mempunyai bagian-bagian dan alat-alat pada kepala yang lebih “matang” daripada bagian-bagian tubuh lainnya. Baik pada masa perkembangan prenatal, neonatal, maupun anak-anak, proporsi bagian kepala dengan rangka batang tubuhnya mula-mula kecil dan semakin lama semakin besar.
2. Hukum Proximodistal
Menurut hukum ini, pertumbuhan fisik berpusat pada sumbu dan mengarah ke tepi. Alat-alat tubuh yang terdapat di pusat, seperti jantung, hati, dan alat-alat pencernaan lebih dahulu berfungsi daripada anggota tubuh yang ada di tepi. Hal ini tentu saja karena alat-alat tubuh yang terdapat pada daerah pusat itu lebih vital daripada anggota gerak seperti tangan dan kaki.

3. Perkembangan terjadi dari umum ke khusus
Pada setiap anak terjadi proses perkembangan yang dimulai dari hal-hal yang umum, kemudian sedikit demi sedikit meningkat ke hal-hal yang lebih khusus. Seperti dikemukakan oleh Werner bahwa anak lebih dahulu mampu menggerakkan lengan atas, lengan bawah, tepuk tangan terlebih dahulu daripada menggerakkan jari-jari tangannya.
Pada perkembangan emosinya juga terjadi hal-hal yang sama. Anak menangis bila mengalami hal-hal yang tidak enak, menyakitkan, menyedihkan, atau menjengkelkan dengan reaksi atau respons yang sama.
4. Perkembangan berlangsung dalam tahapan-tahapan perkembangan
Dalam proses perkembangan terjadi tahapan yang terbagi ke dalam masa-masa perkembangan. Pada setiap masa terdapat ciri-ciri perkembangan yang berbeda antara ciri-ciri yang ada pada suatu masa perkembangan dan ciri-ciri yang ada pada masa perkembangan lainnya. Aspek-aspek tertentu yang tidak berlangsung dan tidak meningkat lagi, disebut fiksasi. Aspek intelek pada anak tertentu yang secara konstitusional terbatas pada suatu saat akan terhenti atau sulit dikembangkan. Masalah penahapan atau periodisasi perkembangan ini banyak dipersoalkan oleh para ahli. Pendapat mereka mengenai dasar-dasar penahapan ini serta panjang tiap-tiap tahapan juga bermacam-macam, yang umumnya lebih bersifat teknis daripada konsepsional.
5. Hukum Tempo dan Ritme Perkembangan
Tahapan perkembangan berlangsung secara berurutan, terus menerus, dan dalam tempo perkembangan yang relatif tetap serta berlaku umum. Perbedaan waktu, mengenai cepat lambatnya suatu penahapan perkembangan atau suatu masa perkembangan dijalani, menampilkan adanya perbedaan individual.
Secara umum, ada dua hal sebagai petunjuk keterlambatan pada keseluruhan perkembangan mental, yaitu sebagai berikut :
a. Apabila perkembangan kemampuan fisik untuk berjalan sangat tertinggal dari patokan umum, tanpa ada sebab khusus, fungsionalitas fisiknya terganggu.
b. Apabila perkembangan kemampuan berbicara sangat terlambat dibandingkan dengan anak-anak lain pada masa perkembangan yang sama. Seorang anak yang pada umur empat tahun, misalnya masih mengalami kesulitan berbicara, mengemukakan sesuatu dan terbatas perbendaharaan katanya, ia akan mengalami kelambatan pada seluruh aspek perkembangan mentalnya.

C. Karakteristik Pertumbuhan dan Perkembangan Peserta Didik Usia Sekolah Menengah (Remaja)
Istilah asing yang sering dipakai menggambarkan remaja adalah puberteit, adolescentia, dan youth. Dalam bahasa Indonesia sering disebut pubertas atau remaja. Istilah vuberty (Inggris) atau puberteit (Belanda) berasal dari bahasa Latin pubertas yang berarti usia kedewasaan (the age manhood). Istilah ini berkaitan dengan kata Latin lainnya pubescere yang berarti masa pertumbuhan rambut di daerah tulang “pusic” (di wilayah kemaluan). Penggunaan istilah ini lebih terbatas dan menunjukkan mulai berkembang dan tercapainya kematangan seksual. Pubescere dan puberty sering diartikan sebagai masa tercapainya kematangan seksual ditinjau dari aspek biologis.
Istilah adolescentia berasal dari kata Latin adulescentis yang artinya masa muda. Adolescensia menunjukkan masa yang tercepat antara usia 12 – 22 tahun dan mencakup seluruh perkembangan psikis yang terjadi pada masa tersebut.
Di Indonesia, baik istilah pubertas maupun adolescences dipakai dalam arti umum dengan istilah yang sama, yaitu remaja. Remaja ini sulit didefinisikan secara mutlak sehingga remaja menurut berbagai sudut pandangan.
1. Pengertian remaja menurut hukum
Konsep tentang remaja bukanlah berasal dari bidang hukum, melainkan dari bidang ilmu sosial, seperti sosiologi, psikologi, dan pendidikan. Konsep ini relatif baru, yang muncul setelah era industrialisasi menjadi pusat perhatian ilmu-ilmu sosial dalam 100 tahun terakhir ini.
Dalam hubungan dengan hukum, tampaknya hanya undang-undang perkawinan saja yang mengenai konsep remaja, walaupun tidak secara terbuka.
2. Remaja Ditinjau dari Sudut Perkembangan Fisik
Dalam ilmu kedokteran dan ilmu-ilmu lain yang terkait, remaja dikenal sebagai suatu tahapan perkembangan fisik saat alat-alat kelaminnya telah mencapai kematangan. Secara anatomis, keadaan tubuh pada umumnya telah memperoleh bentuknya yang sempurna dan secara faali, alat-alat kelaminnya sudah dapat berfungsi secara baik.
Masa pematangan fisik ini berjalan kurang lebih 2 tahun dan biasanya dihitung sejak menstruasi (haid) pertama pada anak wanita, atau sejak anak pria mengalami mimpi basah (mengeluarkan air mani pada waktu tidur) yang pertama. kematangan seksual akan merangsang remaja untuk memperoleh kepuasan seksual. Hal ini dapat menimbulkan gejala masturbasi.
Masa remaja yang dua tahun ini dinamakan masa pubertas. Pada usia berapa masa puber ini dimulai sulit ditetapkan karena cepat lambatnya menstruasi atau mimpi basah sangat bergantung pada kondisi tubuh masing-masing individu, sifatnya sangat bervariasi. Ada remaja wanita yang sudah menstruasi pada umur 9 tahun, 10 tahun, tetapi ada pula yang baru menstruasi pada usia 17 tahun. Masa remaja ini tumbuh dan berkembang ke arah kematangan, baik secara fisik maupun psikis.
3. Batasan remaja menurut WHO
Menurut definisi yang dirumuskan oleh WHO, remaja adalah suatu masa pertumbuhan dan perkembangan saat :
a. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai ia mencapai kematangan seksual;
b. Individu mengalami perkembangan psikologi dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa;
c. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial – ekonomi yang penuh pada keadaan yang relatif lebih mandiri.
4. Remaja ditinjau dari faktor sosial psikologis
Selain tanda-tanda seksual, salah satu ciri remaja adalah perkembangan psikologis dari kanak-kanak menjadi dewasa. Puncak perkembangan kejiwaan itu ditandai oleh adanya proses perubahan dari kondisi “entropy” ke kondisi “negen-tropy” (Sarlito, 1991: 11).
Entropy adalah keadaan yang menggambarkan bahwa keadaan manusia masih belum tersusun secara rapi. Walaupun sudah banyak (pengetahuan, perasaan dan sebagainya), isi-isi tersebut belum dan terkait dengan baik, sehingga belum bisa berfungsi maksimal.
Selama mas remaja, kondisi entropy ini secara bertahap disusun, diarahkan, distrukturkan kembali, sehingga lambat laun terjadi kondisi “negative entropy” atau negentropy. Kondisi negentropy adalah keadaan yang menggambarkan bahwa isi kesadaran tersusun dengan baik, pengetahuan yang satu terkait dengan perasaan atau sikapnya.

5. Definisi Remaja untuk Masyarakat Indonesia
Menurut Sarlito, tidak ada profil remaja Indonesia yang seragam dan berlaku secara nasional. Masalahnya adalah Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa, adat istiadat, dan tingkatan sosial ekonomi maupun pendidikan.
Sebagai pedoman umum, batasan usia remaja Indonesia adalah 11 – 24 tahun dan belum menikah. Pertimbangan-pertimbangannya adalah sebagai berikut :
a. Usia 11 tahun adalah usia pada yang umumnya tanda-tanda seksual sekunder muali tampak (kriteria fisik).
b. Pada banyak masyarakat Indonesia, usia 11 tahun sudah dianggap akil balig, baik menurut adat maupun agama sehingga masyarakat tidak lagi memperlakukan mereka sebagai anak-anak (kriteria sosial).
c. Pada usia tersebut, mulai ada tanda-tanda penyempurnaan perkembangan jiwa.
d. Batas usia 24 tahun merupakan batas maksimal untuk memberi peluang bagi mereka yang sampai batas usia tersebut masih menggantungkan diri pada orang lain, belum mempunyai hak-hak penuh sebagai orang dewasa (secara tradisi).
e. Status perkawinan sangat menentukan karena arti perkawinan masih sangat penting dalam masyarakat Indonesia.
Secara umum, pada remaja sering terlihat adanya ciri-ciri berikut ini :
a. Kegelisahan yang menguasai dirinya. Remaja mempunyai banyak keinginan yang tidak selalu dapat dipenuhi. Di satu pihak, mereka ingin mencari pengalaman baru untuk menambah pengetahuan dari keluwesan dalam bersikap dan bertingkah laku.
b. Pertentangan yang terjadi dalam diri mereka juga menimbulkan kebingungan, baik bagi diri mereka sendiri maupun orang lain. Pada umumnya, timbul perselisihan dan pertentangan pendapat dan pandangan antara si remaja dan orang tua atau orang dewasa.
c. Keinginan untuk mencoba segala hal yang belum diketahuinya. Remaja biasanya ingin mencoba apa yang dilakukan oleh orang dewasa. Remaja pria mencoba merokok secara sembunyi-sembunyi, seolah-olah ingin membuktikan bahwa dirinya sudah dewasa. Remaja putri muali bersolek menurut mode terbaru yang sedang ngetren.
d. Keinginan menjelajah ke alam sekitar yang lebih luas, seperti melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan pramuka atau himpunan pencinta alam, dan sebagainya.
e. Suka mengkhayal atau berfantasi. Fantasi remaja umumnya berkisar mengenai prestasi dan karier hidupnya. Khayalan dan fantasi ini tidak selalu bersifat negatif, tetapi dapat pula bersifat positif.
f. Suka akan aktivitas berkelompok. Remaja dapat menemukan jalan ke luar dari kesulitan-kesulitannya dengan cara berkumpul-kumpul melakukan kegiatan bersama.

D. Tugas Perkembangan Kehidupan Pendidikan dan Karier Remaja
1. Pengertian Pendidikan dan Karier
Pendidikan pada hakikatnya adalah media belajar bagi manusia. Adapun karier adalah hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan pekerjaan yang dijalani seseorang.
Kehidupan pendidikan merupakan pengalaman proses belajar yang dihayati sepanjang hidupnya, baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Kehidupan karier merupakan pengalaman dalam proses bekerja untuk mempersiapkan diri memasuki dunia kerja.
2. Karakteristik Kehidupan Pendidikan dan Karier
Belajar dan bekerja itu akan lebih berhasil apabila sesuai dengan minat, bakat dan kebutuhan. Cita-cita tentang jenis pekerjaan atau jabatan di masa yang akan datang merupakan faktor penting yang mempengaruhi minat dan kebutuhan belajar seseorang. Apabila pada anak-anak, cita-citanya belum jelas, pada remaja cita-cita tersebut sudah terbentuk. Remaja telah memiliki minat yang jelas tentang jenis pendidikan dan pekerjaan tertentu. Secara sadar, ia telah mengetahui pula bahwa pendidikan dan pekerjaan yang diidamkan itu memerlukan dukungan pengetahuan dan keterampilan prasyarat yang harus dimiliki.
Selain pengenalan terhadap sistem pendidikan, para remaja tersebut memiliki teman sejawat yang semakin luas lingkungannya dan ia mulai mengenal anak lain dengan berbagai latar belakang lingkungan keluarga. Dengan kata lain, ia (mereka) mengenal dan memiliki masyarakat baru, yaitu masyarakat sekolah atau teman sebaya. Dengan demikian, mereka memiliki tiga lingkungan pendidikan yang pola dan karakteristiknya berbeda-beda. Ketiga lingkungan itu ialah keluarga, sekolah, dan masyarakat.
a. Lingkungan pendidikan keluarga
Keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama dan utama bagi anak-anak. Pendidikan keluarga lebih menekankan aspek moral atau pembentukan kepribadian daripada pendidikan untuk menguasai ilmu pengetahuan. Dasar dan tujuan penyelenggaraan pendidikan keluarga bersifat individual sesuai dengan pandangan hidup keluarga masing-masing.
Di dalam keluarga, anak berkedudukan sebagai anak didik, sedangkan orangtua sebagai pendidiknya. Penyelenggaraan pendidikan keluarga secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi tiga pola, yaitu pendidikan otoriter, pendidikan demokratis, dan pendidikan liberal.
b. Masyarakat
Masyarakat merupakan lingkungan pendidikan informal yang dikenal oleh anak-anak. Anak remaja telah banyak mengenal karakteristik masyarakat dengan berbagai nilai dan norma sosial. Karena kondisi masyarakat yang beragam itu, tentu saja banyak hal yang harus diperhatikan dan diikuti oleh anak-anak. Oleh karena itu tidak jarang seorang anak berbeda pandangan dengan orangtuanya.
c. Sekolah
Sekolah merupakan lingkungan pendidikan formal yang sengaja diciptakan oleh pemerintah dan masyarakat sebagai media pendidikan bagi generasi muda, khususnya memberikan kemampuan dan keterampilan sebagai bekal kehidupan di kemudian hari. Pendidikan jalur sekolah yang diikuti anak-anak adalah jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Bagi remaja, sekolah dipandang sebagai lembaga pendidikan yang sangat berpengaruh terhadap terbentuknya konsep dan wawasan yang berkenaan dengan nasib karier mereka di masa depan.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kehidupan pendidikan dan karier
a. Faktor Sosial ekonomi
Kondisi sosial ekonomi keluarga banyak menentukan perkembangan kehidupan pendidikan dan karier anak. Kondisi sosial menggambarkan status orang tua merupakan faktor yang “dilihat” oleh anak untuk menentukan pilihan sekolah dan pekerjaan.
Faktor ekonomi mencakup kemampuan ekonomi orangtua dan kondisi ekonomi negara (masyarakat). Yang pertama merupakan kondisi utama karena menyangkut kemampuan orang tua dalam membiayai pendidikan anaknya. Banyak anak berkemampuan intelektual tinggi tidak dapat menikmati pendidikan yang baik disebabkan oleh keterbatasan kehidupan ekonomi orangtuanya.
b. Faktor Lingkungan
Lingkungan di sini meliputi tiga macam. Pertama, lingkungan kehidupan masyarakat, seperti lingkungan masyarakat perindustrian, pertanian, atau lingkungan perdagangan. Dikenal pula lingkungan masyarakat akademik atau terdidik atau lingkungan yang para anggota masyarakatnya terpelajar atau terdidik. Lingkungan kehidupan semacam itu akan membentuk sikap anak dalam menentukan pola kehidupan, yang pada gilirannya akan mempengaruhi pemikirannya dalam menentukan jenis pendidikan dan karier yang diidamkan.
Kedua, lingkungan yang langsung berpengaruh terhadap kehidupan pendidikan dan cita-cita karier remaja. Lembaga pendidikan atau sekolah yang baik mutunya, yang memelihara kedisiplinan cukup tinggi, sangat berpengaruh terhadap pembentukan sikap dan perilaku kehidupan pendidikan anak dan pola pikirnya dalam menghadapi karier.
Ketiga, lingkungan kehidupan teman sebaya. Pergaulan teman sebaya akan memberikan pengaruh langsung terhadap kehidupan pendidikan tiap-tiap remaja. Lingkungan teman sebaya akan memberikan peluang bagi remaja (laki-laki atau wanita) untuk menjadi lebih matang.
c. Faktor Pandangan Hidup
Pandangan hidup itu sendiri merupakan bagian yang terbentuk karena lingkungan. Pengejawantahan pandangan hidup tampak pada pendirian seseorang, terutama dalam menyatakan cita-cita hidupnya. Pendirian seseorang terutama dalam menyatakan cita-cita hidupnya. Dalam memilih lembaga pendidikan, kondisi keluarga yang melatarbelakangi memegang peranan penting. Remaja yang berasal dari kalangan keluarga kurang, umumnya bercita-cita untuk di kemudian hari menjadi orang yang berkecukupan (kaya), sehingga memilih jenis pekerjaan yang berorientasi pada jenis pendidikan yang dapat mendatangkan banyak uang, umpamanya kedokteran, ekonomi, dan ahli teknik.
4. Pengaruh perkembangan kehidupan pendidikan dan karier terhadap tingkah laku dan sikap
Pada jenjang pendidikan dasar yang kurikulumnya masih sangat umum, sekolah menyediakan pelajaran dasar yang belum bermakna sebagai pembekalan bagi anak-anak untuk siap bekerja dan belum terarah ke pemberian keterampilan tertentu untuk terjun ke dunia kerja di dalam masyarakat.
Sikap remaja terhadap pendidikan sekolah banyak diwarnai oleh karakteristik guru yang mengajarnya. Guru yang “baik” di mata para siswa tidak hanya bergantung pada keadaan guru itu sendiri, melainkan bergantung pada banyak faktor. Guru yang baik adalah guru yang akrab dengan siswanya dan menolong siswa dalam pelajaran.
5. Upaya Pengembangan Kehidupan Pendidikan dan Karier
Menghadapi tiga lingkungan pendidikan yang berbeda-beda menyebabkan peserta didik mengalami kebingungan untuk mengikutinya.
Orangtua perlu memahami kemajuan pendidikan, baik di sekolah maupun di luar sekolah dan di luar keluarga. Hal ini amat tinggi nilainya karena dengan norma dan ketentuan yang tidak terlalu jauh berbeda antara rumah, sekolah dan masyarakat, keharmonisan hidup dapat dicapai.
6. Perkembangan Karier Remaja
Dalam arti sempit, pendidikan merupakan persiapan menuju suatu karier, sedangkan dalam arti luas pendidikan merupakan bagian dari proses pengembangan karier remaja. Remaja, yang dilihat dari segi usia mencakup 12 – 21 tahun, menurut Ginzberg (Alexander, dkk, 1980) perkembangan kariernya telah sampai pada periode pilihan tentatif dan sebagian besar berada pada periode pilihan realistis, sedangkan menurut Super (Alexander, dkk, 1980) perkembangan karier remaja itu berada pada tahap eksplorasi, terutama sub tahap tentatif dan sebagian dari sub tahap transisi.
a. Tahap Minat (umur 11 – 12 tahun)
Remaja mulai mempunyai rencana dan kemungkinan pilihan karier yang didasarkan pada minat. Ia belajar tentang apa yang ia suka lakukan, dan melakukan pilihan-pilihan secara tentatif atas dasar faktor-faktor subjektif, belum didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan objektif.
b. Tahap Kapasitas (12 – 14 tahun)
Remaja mulai menggunakan keterampilan dan kemampuan pribadinya sebagai pertimbangan dalam melakukan pilihan dan rencana-rencana karier. Ia mulai menilai kemampuannya dalam bidang-bidang pendidikan dan pekerjaan yang diminati.
c. Tahap Nilai (15 – 16 tahun)
Dalam tahap ini, remaja telah menganggap penting peranan nilai-nilai pribadi dalam proses pilihan karier. Ia mulai melihat apa yang sesungguhnya penting bagi dirinya, tahu perbedaan konsepsi tentang berbagai gaya hidup yang disiapkan oleh pekerjaan, kesadaran tentang pentingnya waktu mulai berkembang dan menjadi lebih sensitif terhadap perlunya pekerjaan.
d. Tahap Transisi (17 – 18 tahun)
Dalam tahap transisi ini, remaja mulai bergerak dari pertimbangan-pertimbangan realistis yang masih berada di pinggir kesadaran ke dalam posisi yang lebih sentral. Pada tahap ini, ia mulai menghadapi perlunya membuat keputusan dengan segera, konkret, dan realistis tentang pekerjaan yang akan datang atau pendidikan yang mempersiapkannya ke suatu pekerjaan tertentu.
Untuk menghadapi remaja yang mengalami masalah atau kesulitan dalam memilih karier, Shertzer (Alexander, dkk, 1980) menyarankan hal-hal berikut:
a. Pelajari dirimu sendiri, karena kesadaran diri tentang bakat, kemampuan, dan ciri-ciri pribadi yang dia miliki merupakan kunci dari ketetapan perencanaan karier.
b. Di bidang apa kamu merasa paling sreg (comfortable)?
c. Tulislah rencana dan cita-citamu secara formal.
d. Biasakan dirimu dengan tuntutan pekerjaan tertentu yang kamu minati.
e. Tinjau dan bicarakan lagi rencana kariermu dengan orang lain.
f. Jika ternyata pilihan kariermu tidak cocok, hentikan.

E. Tugas Perkembangan Remaja Berkenaan dengan Kehidupan Berkeluarga
1. Pengertian Kehidupan Berkeluarga
Pada bagian ini diuraikan tugas perkembangan remaja dalam hubungannya dengan persiapan mereka untuk memasuki kehidupan baru, yaitu kehidupan berkeluarga. Sebagaimana telah diuraikan di depan bahwa secara biologis, pertumbuhan remaja telah mencapai kematangan seksual, yang berarti bahwa secara biologis, ia telah siap melakukan fungsi produksi. Garrison (1956) menyatakan bahwa dorongan seksual pada masa remaja itu cukup kuat, sehingga perlu dipersiapkan secara mantap tentang hal-hal yang berhubungan dengan perkawinan karena masalah terebut mendasari pemikiran mereka untuk mulai menetapkan pasangan hidupnya.
2. Timbulnya Cinta dan Jatuh Cinta
Hampir setiap pemuda (laki-laki atau wanita) mempunyai dua tujuan utama, pertama menemukan jenis pekerjaan yang sesuai, kedua menikah dan membangun sebuah rumah tangga (keluarga). Hal ini tidak selalu muncul dalam aturan tertentu, tetapi perlu dicatat bahwa seorang remaja akan mengalami “jatuh cinta” di dalam masa kehidupannya setelah mencapai belasan tahun (Garrison, 1956: 483).
Alasan atau faktor yang mempengaruhi seseorang mengalami jatuh cinta adalah bermacam-macam, antara lain adalah faktor kepribadian, fisik, budaya, latar belakang keluarga, dan kemampuan, seperti pertimbangan yang digunakan oleh orang Jawa, dalam pemilihan pasangan hidup dilihat dari tiga segi yaitu : “bibit” atau faktor keturunan, “bebet” atau faktor status sosial, dan “bobot” atau faktor ekonomi.
Secord dan Beckman (1974) menyatakan bahwa menciptakan hubungan yang intim, dapat dicapai melalui tiga tahap, yaitu (1) tahap eksplorasi, menjajaki masalah-masalah yang berhubungan dengan pujian atau penghargaan dan keuangan, (2) tahap penawaran, yaitu pasangan itu menjalin berbagai janji. Tidak ada ketentuan formal dalam perjanjian ini, tetapi yang muncul dan dianggap penting dalam hal ini adalah saling pengertian tenteng latar belakang hubungan mereka, dan (3) tahap komitmen. Tahap komitmen ini ditandai oleh saling kebergantungan masing-masing.

3. Masyarakat dan Perkawinan
Pemilihan pasangan hidup merupakan tugas perkembangan yang didorong faktor biologis. Pemilihan pasangan hidup yang berakhir dengan perkawinan, merupakan pertanda terbentuknya inti kekeluargaan atau perluasan dan kelanjutan tentang pemekaran keluarga. Perkawinan antara laki-laki dan wanita tidak dengan begitu saja dapat terjadi, walaupun masing-masing berpendapat bahwa hal itu dirasakan sebagai hal yang “bebas”. Kenyataannya, setiap masyarakat di dunia memiliki norma berkenaan dengan masalah perkawinan. Dengan pengertian ini berarti bahwa perkawinan antara pria dan wanita bukan saja masalah yang didorong oleh faktor biologis, melainkan diatur oleh berbagai aturan atau norma yang berlaku di dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.

F. Implikasi Tugas-tugas Perkembangan Remaja terhadap Penyelenggaraan Pendidikan
Karena banyak faktor kehidupan yang mempengaruhi remaja, pemikiran tentang penyelenggaraan pendidikan juga harus benar-benar memperhatikan faktor-faktor tersebut, sekalipun dalam penyelenggaraan pendidikan diakui bahwa tidak mungkin memenuhi semua tuntutan dan harapan tersebut.
1. Pendidikan yang berlaku di Indonesia, baik pendidikan yang diselenggarakan di dalam sekolah maupun di luar sekolah, umumnya diselenggarakan dalam bentuk klasikal. Penyelenggaraan pendidikan klasikal ini berarti memberlakukan pola dan sistem yang sama semua tindakan pendidikan kepada semua siswa di dalam kelas, walaupun mereka berbeda-beda.
2. Beberapa usaha yang perlu dilakukan dalam penyelenggaraan pendidikan, sehubungan dengan minat dan kemampuan remaja yang dikaitkan dengan cita-cita kehidupannya adalah sebagai berikut
a. Bimbingan karier atau bimbingan konseling dalam upaya membimbing dan mengarahkan siswa dalam menentukan pilihan jenis pendidikan dan pekerjaan sesuai dengan minat, bakat dan kemampuannya.
b. Memberikan latihan-latihan praktis yang berorientasi pada kondisi dan kebutuhan lingkungan.
c. Penyusunan kurikulum yang komprehensif dengan menyertakan kurikulum muatan lokal.
3. Keberhasilan dalam memilih pasangan hidup untuk membentuk keluarga ditentukan oleh pengalaman dan penyelesaian tugas-tugas perkembangan pada masa-masa sebelumnya. Untuk mengembangkan model keluarga yang ideal, perlu dilakukan hal-hal berikut ini :
a. Bimbingan tentang tata cara bergaul dengan mengajarkan etika pergaulan melalui pendidikan budi pekerti.
b. Bimbingan pada siswa untuk memahami nilai dan norma sosial yang berlaku, baik di dalam keluarga, sekolah, maupun masyarakat.
c. Perlu dilakukan pendidikan praktis melalui organisasi pemuda, pertemuan dengan orangtua secara periodik, dan pemantapan pendidikan agama, baik di dalam maupun di luar sekolah.

No comments:

Post a Comment